Kamis, 05 Januari 2012

KHASIAT DAUN SAMBUNG NYAWA

ILMU OBAT DAN OBAT TRADISIONAL (Gynura Procumbens Back)


Di susun oleh ;                                                                                                                       MUMINARSI
(200802056)
YAYASAN PEMBERDAYAAN MASYARAAT PAPUA
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) SORONG
2011/ 2012

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat Rahmat dan hidayahnyalah kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Makalah ini berisi tentang OBAT HERBAL ( Gynura pocumbens back).
Makalah ini dibuat dengan harapan, agar bisa berguna bagi mahasiswa, serta dapat memanfaatkan dalam kehjdupan sehari – hari. kami menyadari bahwa makalah ini belum memenuhi titik kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritikan yang bersifat membangun sangatlah kami harapkan dari para pembaca.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dosen pembimbing serta rekan-rekan sekalian yang telah membantu dalam proses penyusunan makalah ini, sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ini dengan baik.
Akhir kata, kami mengucapkan selamat membaca, semoga makalah ini dapat menjadi bahan untuk  menambah pengetahuan kita dalam  bidang kesehatan,khususnya tentang Obat – obat Herbal. Dan semoga makalah ini dapat menjadi acuan dan referensi bagi para pembaca sekalian.
Di Susun Oleh
Muminarsi
DAFTAR ISI
COVER…………………………………………………….……………….…….i
KATA PENGANTAR………………………....……….…………….……...…..ii
DAFTAR ISI……………………………………...…….……………….………iii
BAB I. PENDAHULUAN………………………….…………….……………...1 1.1 Sejarah Obat…………………………………….………………………….1
BAB II. TUJUAN PENLISAN …………………………………………….……3
2.1. Tujuan umum ………………………………………………….………….3
2.2. Tujuan khusus ……………………………………………………..……..4 BAB III  TINJAUAN PUSTAKA………………………………………...…….6  3.1 Klasifikasi Tanaman ……………………………………………..………6  3.2 Nama Latin …………………………………………………………….…..6 3.3 Morfologi Tanaman …………………………………………………..…..7  3.4 Kandungan Kimia …………………………………………………………8   3.5 komposisi ……………………………………………………………...…..9   3.6 Penggunaan …………………………………………………………..….10    IV. PEMBAHASAN ………………………………………………….………12      V. HASIL PNELITIAN ………………………………………………………13    VI. CARA PENANAMAN …………………………………………………...15  VII. KESIMPULAN ……………………………………………………….....19 VII.1 Kesimpulan ……………………………………………………………19 VII.2 Saran …………………………………………………………………...19
BAB 1.  PENDAHULUAN
1.1  SEJARAH OBAT
Sambung nyawa merupakan tanaman semak semusim  juga dapat mengobti  penyakit ginjal. Sebuah hasil penelitian menyatakan bahwa ekstrak etanol daun sambung nyawa mampu menghambat pertumbuhan tumor pada mencit karena diinfus dengan benzpirena. Lebih jauh dinyatakan bahwa pada dosis 2,23 mg/0,2 ml dan 4,46 mg/0,2 ml dari ekstrak heksan mampu menghambat pertumbuh-an kanker. Sambung nyawa bersifat manis, tawar, dingin dan sedikit toksik. Rasa manis mempunyai sifat menguatkan (tonik) dan menyejukkan.
BAB II TUJUAN PENULISAN
2.1 Tujuan umum
Tujuan umum penulisan makalah ini yaitu mengetahui manfaat/kegunaan jenis  tanaman  Gynura Procumben Back (Sambung nyawa) yang dapat digunakan sebagai obat herbal dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari dalam penyembuhan penyakit.

2.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penulisan makalah ini yaitu:
1)    Mengetahui sejarah dan perkembangan obat-obatan tradisional di dunia dan Indonesia
2)    Mengetahui klasifikasi dari tanaman Sambung Nyawa
3)    Mengetahui nama tanaman Sambung nyawa dalam berbagi versi bahasa
4)    Mengetahui Morfoogi tanaman Sambung  Nyawa
5)    Mengetahui kandungan kimia tanaman Sambung Nyawa
6)    Mengetahui manfaat dan penggunaan tanaman Sambung Nyawa
7)    Menerapkan tanaman Sambung  Nyawasebagai obat herbal dalam penyobatan penyakit
8)    Dapat memanfaatkan halaman rumah sebagai apotek hidup dengan menanami brbagai tanaman obat.










BAB III   TINJAUN PUSTAKA

3.1.  Klasifikasi tanaman                                                                                                      
*      Divisi        :  Spermatophyta
*      Subdivisi  :  Angiospermae
*      Kelas       :  Dicotyledonae
*      Bangsa    :  Asterales (Campanulatae)
*      Suku        :  Asteraceae (Compositae)                                                                         
*      Negara  : Afrika yang beriklim tropis
*      Marga      :  Gynura
*      Jenis        :  Gynura procumbens Back (lour) Merr                                                                    
(Backer and Van den Brink Jr, 1965)
*       
 3.2 Nama latin                                                                                                                            Latin      : Gynura procumbens Back ( Lour.) Merr.                       Famili    :  Asteraceae                                                                                   Nama asing : She juan jaoatau fujung jao.                                   Indonesia  : Sambung njawa, ngokilo, daun dewa, kalingsir (Sundanese)                                                                            Nama daerah  :   Ngokilo                                                                                                                      Melayu  : Daun dewa (Heyne, 1987; Wijayakusuma et al., 1992), Jawa : sambung    nyawa dan ngokilo beluntas cina (Thomas, 1989),
Negara :                                                                                                               Malaysia  : Daun dewa, dewa raja, akar sebiak, kelemai merah, kacham akar
Cambodia : Chi angkam,Thailand : Pra-kham dee khwaai, ma kham dee khwaai (Pattani), mu maengn sang (Chumphon).
Vietnam : B[aaf]u d[aas]t, rau l[us]i, d[aa]y chua l[ef].

3.3    MORFOLOGI TANAMAN
Tanaman Gynura procumbens back berbentuk perdu tegak bila masih muda dan dapat merambat setelah cukup tua. Bila daunnya diremas bau aromatis. Batangnya segi empat beruas-ruas, panjang ruas dari pangkal sampai ke ujung semakin pendek, ruas berwarna hijau dengan bercak ungu. Daun tunggal bentuk elips memanjang atau bulat telur terbalik tersebar, tepi daun bertoreh dan berambut halus. Tangkai daun panjang ½-3 ½ cm, helaian daun panjang 3 ½-12 ½ cm, lebar 1- 5 ½ cm. Helaian daun bagian atas berwarna hijau dan bagian bawah berwarna hijau muda dan mengkilat. Kedua permukaan daun berambut pendek. Tulang daun menyirip dan menonjol pada permukaan daun bagian bawah. Pada tiap pangkal ruas terdapat tunas kecil berwarna hijau kekuningan. Tumbuhan ini mempunyai bunga bongkol, di dalam bongkol terdapat bunga tabung berwarna kuning oranye coklat kemerahan panjang 1-1 ½ cm, berbau tidak enak. Tiap tangkai daun dan helai daunnya mempunyai banyak sel kelenjar minyak (Perry, 1980; Van Steenis, 1975; Backer and Van den Brink, 1965; Sodoadisewoyo, 1953).

3.4   KANDUNGAN KIMIA
Daun tanaman Gynura procumbens Back mengandung senyawa flavonoid, sterol tak jenuh, triterpen, polifenol dan minyak atsiri (Pramono and Sudarto, 1985). Sambung nyawa mengandung minyak Atsiri   (0,05%0) dengan komonen utama  Germakrena β (23,71%), β kadinena (20,19%), dan sedicanol (22,42%). Hasil penelitian lain melaporkan bahwa tumbuhan ini mengandung senyawa flavonoid, tanin, saponin, steroid, triterpenoid, asam klorogenat, asam kafeat, asam vanilat, asam para kumarat, asam p-hidroksi benzoat (Suganda et al., 1988), asparaginase (Mulyadi, 1989). Sedangkan hasil analisis kualitatif dengan metode kromatografi lapis tipis yang dilakukan Sudarsono et al. (2002) mendeteksi adanya sterol, triterpen, senyawa fenolik, polifenol, dan minyak atsiri. Sugiyanto et al. (2003) juga menyatakan berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa dalam fraksi polar etanol daun tanaman Gynura procumbens Back terdapat tiga flavonoid , golongan flavon dan flavonol.
Penelitian oleh Idrus (2003) menyebutkan bahwa Gynura procumbens Back mengandung sterols, glikosida sterol, quercetin, kaempferol-3-O-neohesperidosida, kaempferol-3-glukosida,quercetin-3-O-rhamnosyl(1-6)galaktosida,quercetin-3-O rhamnosyl(1-6)glukosida.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        Dengan menggunakan metode perhitungan secara Reed-Muench di-ketahui bahwa LD50 ekstrak etanol daun sambung nyawa sebesar 5.556 g/kg BB. Jika diasumsikan berat badan orang dewasa rata-rata 50 kg, LD50 tercapai jika mengkonsumsi sebanyak 27,78 g ekstrak atau lebih kurang sama dengan daun sambung nyawa segar sejumlah 277 g.


3.5 KOMPOSISI
Daun mengandung 4 senyawa flavonoid, tanin, saponin, steroid (triterpenoid) . Metabolit yang terdapat dalam ekstrak yang larut dalam etanol 95% antara lain asam klorogenat, asam kafeat, asam vanilat, asam kumarat, asam hidroksi benzoat. Hasil analisis kualitatif dengan metode kromatografi lapisan tipis dapat dideteksi keberadaan sterol, triterpen, senyawa fenolik (antara lain flavonoid), polifenol, dan minyak atsiri. Komponen minyak atsiri paling sedikit terdiri dari 6 senyawa monoterpen, 4 senyawa seskuiterpen, 2 macam senyawa dengan ikatan rangkap, 2 senyawa dengan gugus aldehida dan keton. Hasil penelitian dalam upaya isolasi flavonoid dilaporkan keberadaan 2 macam senyawa flavonoid yaitu bercak 1 terdiri dari 2 buah senyawa flavonol dan auron; sedangkan pada bercak 11 diduga kaemferol (suatu flavonol). Senyawa yang terkandung dalam etanol daun antara lain flavon / flavonol (3?hidroksi flavon) dengan gugus hidroksil pada posisi 4',7 dan 6 atau 8 dengan substitusi gugus 5 hidroksi. Bila senyawa tersebut suatu flavonol, maka gugus hidroksil pada posisi 3 dalam keadaan tersubstitusi. Di samping itu diduga keberadaan isoflavon dengan gugus hidroksil pada posisi 6 atau 7,8 (cincin A) tanpa gugus hidroksil pada cincin B .
3.5   MANFAAT TANAMAN
Berdasarkan berbagai literatur yang mencatat pengalaman secara turun-temurun dari berbagai negara dan daerah, tanaman ini dapat menyembuhkan penyakit-penyakit sebagai berikut :
1.    Tekanan darah tinggi.
Daun segar 4 -lembar (anak-anak 4, dewasa 7 lembar) dicuci lalu dimakan mentah (atau di juice dan diminum, atau dikukus sebentar dan dimakan, atau ditumis sebentar dan dimakan).  Sehari sekali.  (Saran 1x1 kapsul per hari)  Dalimartha (1999).
2.    Radang pita tenggorok, sinusitis. 
 Daun segar 4 -lembar (anak-anak 4, dewasa 7 lembar) dicuci lalu dimakan mentah (atau di juice dan diminum). Sehari sekali.
3.    Tumor.
 Daun 3 lembar mentah dan segar dicuci bersih dimakan sebagai lalapan setiap hari dan dilakukan secara teratur setiap kali makan nasi (atau dijuice dan diminum). Pantangan : ikan asin, cabai, tauge, sawi putih, kangkung, nanas, durian, lengkong, nangka, es, alkohol, dan tape, limun dan vitzin. (Saran  1x1 kapsul per hari).
4.    Diabetes melitus.
 Daun mentah segar3 lembar dicuci lalu dimakan sebagai lalapan setiap hari dan dilakukan secara teratur (atau dijuice dan diminum). Setiap kali makan. Pantangan : makanan yang manis-manis. (Saran  1x1 kapsul per hari ) 
5.    Lever.
 Daun mentah segar3 lembar dicuci lalu dimakan sebagai lalapan setiap hari dan  dilakukan secara teratur (atau dijuice).  Setiap kali makan. Pantangan: makanan yang mengandung lemak.
6.    Ambeien.
Daun mentah segar3 lembar dicuci lalu dimakan sebagai lalapan setiap hari dan dilakukan secara teratur (atau dijuice dan diminum). Setiap kali makan. Pantangan : daging kambing dan makanan, masakan yang pedas.
7.    Kolesterol tinggi.
 Daun mentah segar3 lembar dicuci lalu dimakan sebagai lalapan setiap hari dan dilakukan secara teratur (atau dijuicedan diminum).   Setiap kali makan. Pantangan :  makanan yang berlemak. (Saran 1x1 kapsul per hari)
8.    Maag.
 Daun mentah segar3 lembar dicuci lalu dimakan sebagai lalapan (atau dijuice dan diminum) setiap hari dan dilakukan secara  teratur, setiap kali makan. Pantangan : makanan yang pedas dan asam.
9.    Kena bisa ulat dan semut hitam.
         Daun segar 1lembar digosokkan pada bagian tubuh yang gatal hingga daun tersebut mengeluarkan air  dan hancur. Dilakukan 2x setelah berselang 2jam. (Wijayakusuma et al., 1992.
10.       Kanker kandungan, payudara dan kanker darah                                                 Dengan memakan 3 lembar daun segar sehari selama 7 hari
penurun panas, ginjal, bengkak, sakit kulit, kencing manis, stroke, jantung, gangguan lambung, menghilangkan dahak, batuk, amandel,. Pengobatan tersebut dapat diperpanjang selama 1-3 bulan tergantung dari keadaan penyakit (Meiyanto, 1996).
11.       Menurut  (Heyne, 1987) dapat digunakan untuk penyembuhan penyakit ginjal.
12.       Menurut   juga dimanfaatkan sebagai antikoagulan, mencairkan pembekuan darah, stimulasi sirkulasi, menghentikan pendarahan, menghilangkan panas, membersihkan racun, khusus bagian daunnya dapat digunakan untuk mengobati pembengkakan payudara, infeksi kerongkongan, tidak datang haid, luka terpukul, melancarkan sirkulasi).
13.       Menurut dapat untuk mengatasi batu ginjal, radang mata, sakit gigi, rematik sendi, perdarahan kandungan,  ganglion, kista, tumor, memar.
IV. PEMBAHASAN
Herbal, berdaging. Batang memanjat, rebah, atau merayap, bersegi, gundul, berdaging, hijau keunguan, menahun. Daun berbentuk helaian daun, bentuk bulat telur, bulat telur memanjang, bulat memanjang, ukuran panjang 3,5 - 12,5 cm, lebar 1- 5,5 cm, ujung tumpul, runcing, meruncing pendek, pangkal membulat atau rompang. Tepi daun rata, bergelombang atau agak bergigi. Tangkai daun 0,5 cm sampai 1,5 cm. Permukaan daun kedua sisi gundul atau berambut halus. Perbungaan dengan susunan bunga majemuk cawan, 2- 7 cawan tersusun dalam susunan malai (panicula) sampai malai rata (corymb), setiap cawan mendukung 20-35 bunga, ukuran panjang 1,5- 2 cm, lebar 5-6 mm. Tangkai karangan dan tangkai bunga gundul atau berambut pendek, tangkai karangan 0,5- 0,7 cm. Brachtea involucralis dalam berbentuk garis berujung runcing atau tumpul, panjang 0,3 - 1 cm. Lebar 0,6 - 1,7 cm, gundul, ujung berwama hijau atau coklat kemerahan. Mahkota merupakan tipe tabung, panjang 1 - 1,5 cm, jingga kuningan atau jingga. Benang sari berbentuk jarum, kuning, kepala sari berlekatan menjadi satu. Buah berbentuk garis, panjang 4 - 5 mm, coklat. Daun mempunyai susunan dan fragmen yang sesuai dengan sifat anatomi keluarga tumbuhan bunga matahari (Asteraccae = Compositae). Waktu berbunga Januari - Desember. Di Jawa perbungaan jarang ditemukan.
Tumbuhan ini banyak ditemukan di Jawa pada ketinggian 1 - 1200 m dpl, terutama tumbuh dengan baik pada ketinggian 500 m dpl. Banyak ditemukan tumbuh di selokan, semak belukar, hutan terang, dan padang rumput . Secara kultur jaringan, eksplan yang terbaik untuk penumbuhan kalus G. procumbens adalah tangkai daun yang ditaburkan. Media yang terbaik untuk penumbuhan kalus adalah media RTK yaitu media RT dengan air kelapa 10%. Pemberian kombinasi pupuk N dan P memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan hasil produksinya. Pemakaian BA 1 - 4 mg/l memberikan kondisi yang baik untuk multiplikasi tunas. Cara perbanyakan tanaman dapat dilakukan dengan menggunakan stek batang. Pertumbuhan batang dan daun cepat sehingga dapat segera dimanfaatkan. Tanaman akan tumbuh baik pada tempat ternaungi karena helaian daun lebih tipis dan lebar, sehingga lebih enak untuk dimakan segar.
X.  PENELITIAN MENGENAI  Gynura Procumbens Back   
Pembuktian secara ilmiah mengenai khasiat tanaman ini melalui penelitian telah banyak dilakukan antara lain :
Ø  Sugiyanto et al. (1993), melaporkan adanya efek penghambatan karsinogenitas benzo(a)piren (BAP) oleh preparat tradisional tanaman Gynura procumbens, dan pada tahun 2003 Sugiyanto et al. menyatakan bahwa ekstrak etanol daun Gynura procumbens  mampu memberikan efek antimutagenik terhadap tumor paru mencit yang diakibatkan oleh BAP. Sifat antimutagenik ini juga berfungsi sebagai penghambat mutasi pada Salmonella typhimurium.
Ø   Meiyanto (1996) menyatakan bahwa ekstrak etanol daun Gynura procumbens (Lour.) Merr. mampu memberikan efek antimutagenik terhadap tumor paru mencit yang diakibatkan oleh BAP.
Ø  Meiyanto et al., 2004, Secara in vitro, ekstrak etanol daun Gynura procumbens memiliki IC50 kurang dari 1000 ug/ml pada larva udang Artemia salina Leach (Meiyanto et al., 1997). Selain menghambat karsinogenitas pada kanker paru, Gynura procumbens juga diketahui mampu menghambat karsinogenitas kanker payudara. Pemberian post inisiasi ekstrak etanolik daun Gynura procumbens dosis 250 mg/kgBB dan 750 mg/kgBB dapat mengurangi insidensi kanker payudara tikus yang diinduksi dengan dimetil benz(a)antrazena (DMBA), menurunkan rata-rata jumlah nodul tiap tikus serta secara kualitatif menurunkan ekspresi COX-2 (enzim yang berperan dalam angiogenesis).
Ø  Penelitian Meiyanto dan Septisetyani (2005) menyatakan bahwa fraksi XIX-XX ESN memiliki efek sitotoksik terhadap sel kanker serviks, HeLa, dengan IC50 119 μg/ml. Fraksi tersebut juga menghambat proliferasi sel HeLa dan dapat menginduksi terjadinya apopotosis.
Ø  Penelitian lebih jauh oleh Maryati (2006) menunjukkan flavonoid yang diisolasi dari fraksi etil asetat ekstrak etanolik daun Gynura procumbens memiliki aktivitas sitotoksik dengan IC50 sebesar 98 μg/ml terhadap sel T47D dan secara kualitatif meningkatkan ekspresi p53 dan Bax (regulator apoptosis). Hasil tersebut menguatkan hasil penelitian sebelumnya baik terhadap ekstrak etanolik maupun fraksi-fraksinya yang mengarahkan pada efek kemopreventif Gynura procumbens, baik sebagai blocking maupun suppressing.
Ø  Jenie and Meiyanto,(2006)0Ekstrak etanolik daun Gynura procumbens juga dilaporkan memiliki efek antiangiogenik sehingga tanaman ini berpotensi sebagai antimetastasis, anti-invasi.
VI. CARA PENANAMAN SAMBUNG NYAWA  
  6.1 Penanaman                                                                                                 Perbanyakan sambang nyawa di-lakukan dengan menggunakan bahan tanaman setek batang dan tunas akar. Setek batang yang digunakan ber-ukuran panjang 15 - 20 cm. Bila menggunakan tunas akar dilakukan dengan mencabut atau memisahkan tunas dari tanaman induk. Penanam-an tunas dilakukan seperti pada stek batang. Media tanam yang diguna-kan adalah campuran tanah + pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1. Tanaman sebaiknya mendapat naungan dengan mendapatkan in-tensitas sinar matahari sekitar 60%. Penyiraman dilakukan setiap hari de-ngan lama penyemaian 2 - 3 bulan. Jarak tanam yang ideal 50 x 75 cm, panjang disesuaikan dengan lahan dengan lubang tanam 20 x 20 x 20 cm
6.2   Pemupukan                                                                                                                                 Pemupukan menggunakan pupuk organik berupa pupuk kandang atau kompos. Pupuk diberikan 5 g setiap tanaman dan diberikan 3 - 7 hari sebelum penanaman. Pemupukan lanjutan dapat diberikan gandasil-D dengan dosis 0,2 sampai 0,3 %.
              6.3  Organisme pengganggu                                                                                 Dijumpai 4 jenis hama yang me-nyerang tanaman ini, yakni Plococ-cus sp., Sylepta chinensis, Ularchis miliaris, dan Acrida turhita. Serang-an yang ditimbulkan terlihat dengan penampilan daun yang hanya tinggal tulangnya atau daun yang berlubang-lubang. Untuk mengurangi serangan hama dilakukan pengendalian secara organik dan dapat digunakan mulsa yang berasal dari daun orok-orok kebo dan daun lamtoro.
            6.4  Perbanyakan tanaman melalui kultur in vitro                                     Aplikasi teknologi dengan cara kultur jaringan dapat juga diterapkan untuk memperoleh bahan tanaman seragam secara cepat dan mendapat-kan tanaman yang bebas penyakit serta dapat juga diterapkan teknik penyimpanan plasma nutfah. Media untuk multiplikasi tunas sambang nyawa adalah Murashige dan Skoog yang dapat diperkaya dengan Benzil Adenin pada konsentrasi 0 sampai 1 mg/l. Penggunaan media MS tanpa zat pengatur tumbuh dapat diterap-kan pada tahap awal kultur, karena tingginya kandungan auksin en-dogen, dan pada media tersebut menghasilkan jumlah tunas rata-rata 5,4 setelah masa kultur 2 bulan. Penambahan BA pada media dilakukan setelah memasuki umur kultur 2 tahun, bila tidak ada penambahan zat pengatur tumbuh, daya multiplikasi tunas rendah. Sambang nyawa diduga memiliki kandungan hormon endogen yang cukup untuk multiplikasi tunas.                                                                                                      Media perakaran terbaik adalah MS + IAA 0,1 dengan panjang akar 9,3 cm dan jumlah daun 12/tunas. Akar yang terbentuk tidak hanya dipangkal batang, tetapi juga terbentuk rambut akar yang ditemu-kan pada ruas-ruas batang. Plantlet yang telah terbentuk selanjutnya diaklimatisasi di rumah kaca dapat menggunakan media pupuk kan-dang, sekam atau kompos selama 4 minggu. Keberhasilan aklimatisasi menggunakan pupuk kandang + tanah (1 : 1) mencapai 90%.
        Dari hasil perbanyakan in vitro dengan menggunakan tunas pucuk pada media MS dengan kadar gula 0,10 dan 20 g/l, ternyata tunas memiliki kemampuan tumbuh yang hampir sama dengan tunas yang ditanam pada media yang mengan-dung gula 10 dan 20 g/l, bahkan akar terbentuk 5 - 7 hari setelah penanam-an.
          Penyimpanan secara in vitro dalam keadaan tumbuh dapat di-lakukan dengan menggunakan media perbanyakan (MS + BA0,1 mg/l) ataupun menggunakan media peng-hambat. Media perbanyakan yang digunakan adalah MS dengan kon-sentrasi BA 0,1 mg/l dapat pula di-terapkan pada tanaman. Pembaruan media kultur dapat dilakukan sekali 8 bulan, dalam kondisi media yang telah berkurang dan penampilan ta-naman yang memperlihatkan adanya daun yang mulai menguning. Saat ini umur kultur sambang nyawa telah memasuki periode 3 tahun kultur. Sedangkan bila menggunakan media penghambat paclobutrazol dan ABA serta secara enkapsulasi penyimpan-an dapat berlangsung sampai 6bulan.

6.5  Panen dan pengolahan simplisia
       Panen pertama dilakukan saat tanaman berumur sekitar 4 bulan. Pemanenan dilakukan dengan cara memetik atau memangkas daun sebanyak 4 - 5 helai ke arah puncak. Pada budidaya sambung nyawa secara monokultur dapat diproduksi daun segar 50,75 ton/ha.                                  Daun yang dipanen dapat dikon-sumsi segar dalam bentuk lalaban atau dibuat urap dan dapat juga disimpan dalam bentuk simplisia. Simplisia dibuat dengan cara me-ngiris daun dan dijemur selama be-berapa hari untuk mengurangi kadar air. Dapat pula dilakukan dengan cara pengeringan pada oven pada suhu 400C, selama 5 hari diperoleh simplisia sebesar 4,25 ton/ha dengan kadar air 8%, kadar sari larut dalam etanol sebesar 6%, kadar sari larut dalam air sebesar 30% serta kadar ekstrak etanol sebesar 5,1%. Sim-plisia daun yang dihasilkan berwarna hijau kecokelatan, berbau harum dan berasa sedikit asam. Simplisia se-lanjutnya digerus dan diayak. Bagian yang halus selanjutnya disimpan dalam bentuk kapsul dan siap di-konsumsi.


VII. KESIMPULAN DAN SARAN
VII.IKesimpulan
      Beberapa dekade terakhir ini terdapat kecenderungan secara global untuk kembali ke alam. Kecenderungan untuk kembali ke alam atau ” back to nature “, dalam bidang pengobatan pada herbal ini sangat kuat di Negara-negara maju dan berpengaruh besar di Negara-negara berkembang seperti Indonesia. Obat herbal sekarang di jadikan pengobatan pertama yang di minati masyarakat karena khasiatnya dan efek samping yang minimal atau bahkan tidak ada sama sekali.
VII.2  Saran
·      Gunakanlah obat-obatan herbal karena efek sampingnya sangat rendah bahkan tidak ada.
Manfaatkan lingkungan rumah sebagai apotek hidup keluarga dengan menanami tanaman obat
tanpa disadari kita sebagai masyrakat tidak banyak mengetahui manfaat tanaman yang ada disekitar kita, sesungguhnya tanaman yang ada di halaman rumah salah satunya ceremai ini sangat berguna untuk kesehatan.memberikan efek samping, tetapi kita dapat kembali memanfaatkan tanaman yang ada sebaga obat tradisional, untuk dapat memberikan kesembuhan pada penyakit.

Senin, 02 Januari 2012

BAB PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
 Sindrom Vena cava superior (SVCS) merupakan obstruksi aliran darah melewati vena cava superior. Hal ini merupakan kegawat daruratan dalam medis dan sering bermanifestasi pada pasien yang mengalami proses keganasan pada thorax. Pasien dengan sindrom vena cava superior memerlukan diagnosis dan terapi yang cepat.
 William Hunter pertama kali memperkenalkan sindrom ini tahun 1757  pada pasien yang menderita aneurysma saccular aorta ascendens karena penuakit sifilis, dari hasil otopsi dia menemukan bahwa VCS terkompresi berat oleh arteri yang berdilatasi, sehingga sama sekali tidak bisa teraliri darah.
Kemudian Tahun 1954, schecter mengumpulkan data mengenai pasien dengan sindrom vena cava superior sebanyak 274 kasus, dimana 40% dari mereka mengalami sifilis aneurisma atau mediastinitis TBC, tetapi akhir – akhir ini penyakit tersebut tidak banyak menyebabkan obstruksi vena cava superior. Kanker paru merupakan penyakit dasar (kira – kira 70%) yang paling banyak mendasari terjadinya Sindrom vena cava superio.
 SVCS merupakan oklusi yang parsial dari vena cava superior. Hal ini menyebabkan gangguan aliran darah yang lewat ke vana cava superior. SVCS juga sering disebut sebagai sindrom mediastinum superior atau obstruksi vena cava superior.
             Pada pertengahan abad ke-20, keganasan menjadi penyebab tersering dari SVCS hampir sepertiga dari semua kasus yang ada. Peningkatan kejadian bronkogenik karsinoma pada dekade terakhir ini ditambah dengan adanya peningkatan dalam penanganan granulomatous dan penyakit infeksi ini yang menyebabkan terjadinya perubahan etiologi SVCS.
William Stokes pada tahun 1837 melaporkan kasus SVCS pada pasien yang menderita Ca Paru dextra, dia menggambarkan kondisi pasiennya”wajahnya bengkak dan pucat, matanya sangat menonjol seperti bola dan saat bernafas cuping hidungnya sangat mengembang serta ekspresinya seperti orang yang kesakitan, vena jugularis dextra sangat menggembung, juga vena-vena di axilla dextra, gambaran ini juga sangat jelas di permukaan
perut dimana nampak 2 buah vena yang sangat menggembung dan berkelok-kelok, melebar seukuran bulu angsa”.
Menjelang pertengahan abad ke-20, sekitar sepertiga kasus SVCS berhubungan dengan proses malignansi ; penyebab yang lainnya adalah infeksi sekunder misal aneurysma aorta luetik, tuberkulosis, dan mediastinitis fibrotik. Saat ini kasus SVCS paling banyak ditemukan (70%) pada pasien Ca Paru. Di USA diperkirakan 15.000 orang mengalami SVCS setiap tahunnya.
Kegawatan napas dapat terjadi pada penyakit di saluran napas, pembuluh darah toraks dan parenkim paru, salah satunya adalah sindrom vena kava superior (SVKS).1 Sindrom vena kava superior muncul bila terjadi gangguanaliran darah dari kepala dan leher akibat berbagai sebab. Identifikasi yang cepat dan terapi yang tepat dapat menghindari kegawatan akibat SVKS dan meningkatkan hasil terapi terhadap penyebabnya. Karakteristik SVKS adalah terdapat hubungan antara berat ringan klinis dengan derajat obstruksi/kompresi terhadap vena kava superior. SVKS menjadi faktor prognostik penderita kanker paru.
B.Tujuan Penulisan
1.      Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melaksanakan asuhan keperawatan secara komprehensif  pada klien dengan Sindrom vena kava superior, meliputi aspek bio-psiko-sosial-spiritual dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan dan dapat mendokumentasikan secara ilmiah.
2.      Tujuan Khusus
  Penulisan makalah ini bertujuan agar mahasiswa dapat melakukan asuhan keperawatan pada sindrom vena kava superior sesuai dengan pendekatan proses keperawatan,  yaitu dapat :
a.Mampu menjelaskan konsep dari sindrom vena kava
b.Mampu melajsanakan pengkajian pada sindrom vena kava superior meliputi pengumpulan data dan analisa data.
c. Mampu menjelaskan proses dari sindom vena kava superior
d. Mampu menjelaskan faktor penyebab dari sindrom vena kava superior.
e. Mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada sindrom vena kava superior.

BAB 2
TINJAUAN TEORI
A.          DEFINISI
Sindrom Vena cava superior adalah sekumpulan gejala akibat pelebaran pembuluh darah vena yang membawa darah dari bagian tubuh atas menuju ke jantung, Penghambatan aliran darah ini (oklusis) melewati vena ini dapat menyebabkan sindrom vena cava superior (SVCS).
Vena Cava Superior (VCS) adalah pembuluh darah vena mayor yang mengalirkan darah dari pembuluh-pembuluh darah vena di kepala, leher, ekstremitas atas, dan thorax bagian atas.
Sindrom vena kava superior (SVKS) merupakan salah satu gejala pada keganasan di paru yang mengganggu aliran darah vena kava superior atau cabang-cabangnya.
Superior vena cava syndrome (SVC), atau obstruksi vena kava superior (SVCO), biasanya merupakan hasil dari obstruksi langsung v. kava superior oleh keganasan seperti kompresi dinding kapal dengan tumor lobus kanan atas atau timoma dan / atau mediastinum limfadenopati.
Sindroma Vena Cava Superior (SVCS) adalah suatu manifestasi klinik yang disebabkan oleh adanya kompresi atau obstruksi aliran darah yang melalui vena cava superior (VCS) baik parsial ataupun total, dengan gambaran klinik yang bervariasi dari ringan sampai berat.
B.     ANATOMI
Vena Cava Superior (VCS) adalah pembuluh darah vena mayor yang mengalirkan darah dari pembuluh-pembuluh darah vena di kepala, leher, ekstremitas atas, dan thorax bagian atas (trakea). Pembuluh darah ini membawa hampir sepertiga aliran balik venosa ke jantung. Terletak di pertengahan mediastinum dan terentang sampai sisi kanan aorta dan anterior dari trachea. VCS dikelilingi oleh struktur-struktur yang terhitung keras seperti sternum, trachea, bronchus kanan, aorta, arteri pulmoner, dan limfonodi-limfonodi perihillar dan paratracheal, sehingga mudah untuk terkompresi.  Terdapat 8 prinsip jalur kolateral dalam aliran sistem vena thorak antara lain Paravertebral, azigos–hemiazigos, mamaria interna, thoraks lateral, jugularis anterior, thyroidal, thymus, vena pericardiophrenic.
Panjang VCS sekitar 6 – 8 cm, 2 cm bagian distal dari vena ini terletak di bawah saccus pericardium, dengan suatu titik fiksasi relatif di refleksi pericardial. Vena azygos memasuki VCS dari arah posterior, tepat di atas refleksi pericardial. Diameter VCS 1,5 – 2 cm, yang mempertahankan darah pada tekanan rendah. Dinding VCS tipis, sangat mudah terkompresi dan rentan terhadap setiap proses desak ruang dari organ-organ di sekitarnya. VCS penuh dikelilingi oleh untaian limfonodi yang merupakan sistem drainase dari struktur-struktur di rongga thorax kanan dan bagian bawah dari rongga thorax kiri. Struktur-struktur yang terdapat di mediastinum seperti bronchus, esophagus, dan spinal cord juga bisa menjadi penyebab terjadinya obstruksi VCS. VCS memiliki tekanan intravaskuler yang rendah, hal ini berpotensi untuk terbentuk thrombus misalnya pada catheter-induced thrombus.
Setiap sistem terhubung dalam suatu jaringan yang rumit untuk menyediakan sejumlah variasi aliran yang dapat mengalir dari setiap system vena, tergantung situasi. Munculnya SVCS tergantung pola anatomis dan kompensasi yang timbul akibat proses patologis yang timbul. Lokasi obstruksi, luasnya proses patologis yang terjadi, adanya jalur dan kemampuan jalur vena dalam mengadaptasi aliran darah yang berlebih menentukan tingkat keganasan dari sindrom.
C.ETIOLOGI
Ø  Faktor penyebab utamanya adalah
1.Kanker pada thorax bagian atas (52-81%),
2.Tumor ganas (90%), umumnya tumor pancoast,
3. Adenoma ca (14%)
4. limfoma (biasanya di mediastinum) kanker payudara,
5.Tumor primer di mediastinum, germ cell tumor,thymoma (keganasan thymus),
6.Kanker payudara dan kanker testis yang sudah bermetastase ke paru-paru.

Ø  Vena cava superior pada anak –anak jarang terjadi dan memiliki etiologi yang berbeda, yaitu:
1.Iatrogenik,akibat sekunder dari suatu prosedur tindakan misalnya pembedahan kardiovaskular pada kasus penyakit jantung kongenital(70%),
2. pemasangan ventriculoatrial shunt pada kasus hydrocephalus, dan
3. kateterisasi VCS pada pemberian nutrisi parenteral.
4.Tumor mediastinal ,
5.Granuloma benigna (15%), dan
6.Anomali kongenital dari sistem kardiovaskular (7,5%)

Ø  Beberapa faktor resiko yang ditemukan untuk terjadinya SVCS ini antara lain :
1.      merokok (44%),
2.      riwayat deep venous thrombosis (25%),
3.      hipertensi (22%),
4.      diabetes (9%),
5.      heterozygosity faktor V Leiden (6,25%),
6.      Defisiensi,
7.      Fibrosis mediastinum, penyakit pembuluh darah seperti aneurisma aorta, vaskulitis, fistul arteria-vena,
8.      Infeksi seperti histoplasmosis, TBC, sifilis dan aktinomikosis,
9.       Tumor jinak (teratoma, kistik higroma, timoma dan trombosis).

Ø  Mekanisme timbulnya SVCS
SVCS terjadi melalui mekanisme berikut secara sendiri atau bersama:
·         Kompresi tumor vena cava. Akibat compliance dinding vena kecil /tekanan intra vena rendah à mudah tertekan dan aliran darah terganggu
·         Tumor menginvasi langsung pada dinding vena lumen vena menyempit (deformitas) aliran darah terganggu
·         Kompresi tumor di luar vena à lumen menyempità thrombus intravenaà obstruksi aliran vena partial/ total
·         Thrombus di sekitar kateter ( CV catheter) aliran darah vena lambat

D.   MANIFESTASI KLINIS
Munculnya gejala rata-rata adalah 45 hari.Tanda gejala yang sering muncul adalah:
o   Dyspnea(63%),
o   Rasa penuh (fullness) di kepala atau nyeri kepala ringan & pembengkakan wajah (facial swelling) sejumlah 50%,
o   Batuk persisten (24%)
o    Bengkak di kedua lengan (upper extremity swelling bilateral) sejumlah 18%,
o   Disfagia (9%).
a.       Berdasarkan penemuan fisik yang spesifik adalah:
o    Distensi venosa di leher (66%)
o    Dilatasi vena-vena superfisial di dinding dada (54%),
o   Edema wajah (46%),
o   Plethora facialis (19%), dan
o   Sianosis (19%).
b.      Berdasarkan simptom lain yang mungkin ditemukan yaitu:
o   Termasuk orthopnea,
o    dilatasi vena-vena di ekstremitas,
o    hoarseness,
o   stridor,
o    nasal stuffiness,
o   epistaxis,
o   nyeri dada,
o   edema laryng dan atau glotis.
Pada beberapa kasus, serabut saraf yang melintasi mediastinum superior (misal n.vagus & n. phrenicus) terkena efek dari SVCS, sehingga menyebabkan hoarseness dan paralisis diafragma.
 Gejala-gejala klinik akan memburuk jika posisi tubuh tertekuk ke depan, membungkuk, atau berbaring. Pasien biasanya lebih nyaman dengan posisi tegak, sehingga tidak jarang pasien dengan SVCS tidur dalam posisi duduk di kursi untuk mengurangi sesak nafas.
Manifestasi klinik yang tipikal adalah gambaran hipertensi venosa di atas level obstruksinya. Tampak gambaran vena-vena primer yang berdilatasi di batang tubuh (trunk), ekstremitas atas, dan leher. Kulit akan tampak kemerahan atau sedikit keunguan (flushing). Edema ringan di leher, wajah, dan regio periorbital dengan proptosis dan conjunctival suffusion mungkin dapat ditemukn. Adanya eksaserbasi batuk merupakan tanda telah terjadinya hipertensi venosa. Hipertensi venosa dapat juga menyebabkan terjadinya thrombosis di pembuluh-pembuluh darah cerebral dan perdarahan cerebri yang dapat menyebabkan kematian. Nyeri kepala, nausea, dizziness, dan gangguan visual jarang ditemukan. Letargi, syncope, stupor dan atau koma ditemukan sejumlah kurang dari 2% kasus, dimana gejala-gejala ini lebih sering muncul pada pasien dengan SVCS yang berat dan sangat progresif. Jarang ditemukan adanya gangguan jalan nafas (airway), tapi jika gejala ini muncul bisa disebabkan karena adanya faktor-faktor lain misalnya pembengkakan glotis, paralisis vocal cord, atau kompresi tracheal ekstrinsik.




E.   PATOFISIOLOGI
 Vena cava superior merupakan pembuluh darah yang besar yang menerima darah dari kepala, leher dan ekstremitas atas dan bagian thorak atas. Vena cava superior teletak di tengah–tengah mediastinum dan dikelilingi oleh struktur yang sangat rapuh seperti sternum, trakea, bronkus kanan,aorta, arteri pulmonalis dan limfonodus parahiler dan paratrakea. Vena cava superior terbentang dari hubungan antara vena inominata kanan dan kiri menuju ke atrium kanan, panjangnya mencapai 6 – 8 cm. Dengan dinding yang tipis dan tekanan yang lemah. Dinding pembuluh darah vena cava superior ini sangat mudah tertekan karena vena ini melintang di daerah mediastinum.
Obsruksi dari VCS mungkin disebabkan oleh invasi neoplastik dari dinding vena yang berhubungan dengan trombosis intravaskular atau lebih sederhana oleh karena tekanan ekstrinsik dari masa tumor. Pada pemeriksaan postmortem diketahui bahwa obstruksi total dari vena cava superior dihasilkan dari kombinasi trombosis vena cava dengan kompresi ekstena. Obstruksi vena cava superior sebagian lebih sering disebabkan oleh penekanan atau kompresi intrinsik tanpa trombosis vena.
Obstruksi vena cava superior mengawali aliran balik vena kolateral dari setengah bagian tubuh bagian atas menuju ke jantung melewati 4 jalur utama. Jalur Pertama dan yang paling penting adalah sistem vena azygos, termasuk vena azygos, vena hemiazygos, dan vena–vena interkostal. Jalur kedua adalah sistem vena mamaria interna dan cabang – cabangnya serta hubungan sekunder ke vena epigastrik superior dan inferior, Sistem vena toraksik yang panjang, dengan hubungannya menuju vena femoralis dan vena vertebralis, yang menyediakan jalur kolateral ketiga dan keempat. akibat terjadinya perubahan jalur vena tersebut maka aliran vena hampir selalu meningkat pada bagian atas jika obstruksi vena cava superior terjadi, dimana tekanan vena cava tersebut dapat mencapai 200 – 500 cmH2O pada SVCS     berat.
Dengan menggunakan venografi, Standford dan Doty telah menggambarkan empat pola yang berhubungan dengan aliran vena ditentukan dari derajad obstruksi dari vena cava superior. Obstruksi vena cava superior dibawah batas insersi dari vena azigos akan menyebabkan peningkatan aliran ke vena azigos sebagai salah satu cabang mayor jalur kolateral, dengan aliran balik dan drainase menuju vena cava inferior. obstruksi diatas insersi vena azigos akan meningkatkan aliran menuju jalur alternatif, terutama pleksus cervical dan paravertebral. Pembuluh darah kolateral yang menuju ke sistem vena azigos akan mengalir balik ke vena cava inferior. Beberapa sistem vena kolateral mungkin muncul saat vena cava superiordan vena besar mengalami trombosis.
Perkembangan dari obstruksi vena cava superior menentukkan keganasan dari sindrom dan perubahannya yang berhubungan dengan perubahan aliran vena. Strangulasi dari aliran vena besar (Seperti vena cava, vena inominata, atau vena azigos ) merangsang timbulnya aliran balik menuju vena–vena yang lebih kecil. Prosesnya selalu berkembang menjadi proses yang subakut atau kronis yang berkembang lebih cepat daripada kemampuan tubuh untuk mengalirkannya ke vena kolateral untuk mencegah terjadinya kongesti. Aliran darah vena yang tinggi tepat diatas pusat obstruksi akan menyebabkan aliran berubah ke pleksus yang tekanannya lebih rendah dan venula-venula. Dalam hitungan minggu atau bulan maka akan memaksa terjadinya pelebaran pembuluh darah kolateral menjadi lebar.
Ketika terjadi peningkatan aliran vena maka akan terjadi gambaran sianosis pada pasien, odema juga sering terjadi pada pasien dengan SVCS karena adanya peningkatan tekanan hidrostatik kapiler, kondisi ini sangat dipengaruhi oleh derajad aliran kolateral untuk mengurangi tekanan vena. Perubahan anatomis dan fisiologis juga terjadi sebagai akibat dari kongesti yang terjadi seperti plethora pada wajah, odema rigan pada wajah, dan kemerahan pada wajah dan ekstremitas dan dilatasi dari vena kulit. Ketika obstruksi yang terjadi akut atau subakut maka perubahan fisiologis dari vena – vena kolateral tidak dapat terjadi secara cepat dan cukup untuk mengkompensasi, maka gejala klinis yang muncul akan bertambah hebat seperti odema pada wajah, leher, dan tangan, sakit kepala, sesak, bengkak pada periorbita dan eritema pada wajah.

F.    DIAGNOSIS      
1.      USG( Ultrasonogrfi)
Pemeriksaan USG sangat bernilai dalam menilai keadaan dari vena jugularis, subclavia, dan vena aksilaris sangat aman cepat dan bersifat non invasive. Sebagai screning awal untuk mengevaluasi adanya obstruksi patologis, pengukuran aliran Doppler sangat mudah dan akurat tetapi dibatasi oleh ketidakmampuan untuk melihat vena intratorak secara adekuat, penilaian lebih modern terhadap sistem vena intrathorak dapat dinilai dengan Transesofageal Echocardiografi (TEE), yang telah menunjukan hasil yang memuaskan dalam mengevaluasi vena cava superior dan struktur sekitarnya.
2.       Radionuclide Venography
Nuclear scientigraphy merupakan metode yang noninvasive dan relative akurat dalam melihat gambaran system vena, gambaran yang dihasilkan tidak sebaik gambaran pada kontras venografi yang dapat melihat anatomis vena dengan jelas. tetapi technetium-99m DPTA dapat mengkonfirmasi kehadiran dari SVCS, mengikuti alur letak obstruksi, memperlihatkan daerah aliran kolateral, menilai pola sirkulasi asesorius dan mengidentifikasi area emboli paru, jika evaluasi sistem vena diharapkan untuk kearah tindakan pembedahan maka kontras venografi yang harus dilakukan.
3.      Computed Tomography and Magnetic Resonance Imaging (CT/MRI).
CT – scan menyediakan informasi yang banyak tentang kejadian SVCS ,CT-scan memperlihatkan secara detail anatomis dari thorak, termasuk tumor yang terletak proksimal dari vena cava superior, jantung, trakea dan struktur mayor lainnya, memperlihatkan oklusi vena cava, termasuk trombosis “kolateral loop” dari hubungan vena intratorak. Raptopoulus telah mengidentifikasi lima kategori dari kompresi vena cava superior yang berhubungan dengan derajad keganansan yang bermanifestasi pada gejala klinis yang muncul.
a.       Tipe 1
·         Tipe 1a merupakan penyempitan vena cava superior yang sedang tanpa aliran kolateral  atau peningkatan ukuran vena azigos
·         Tipe Ib merupakan penyempitan vena cava superior yang berat dengan aliran retrograde ke vena azigos.

b.      Tipe II
Merupakan obstruksi vena cava superior diatas lengkung azigos dengan aliran retrograde ke vena torakal, vertebral,dan vena perifer lainnya.
c.       Tipe III
 Merupakan obstruksi vena cava superior dibawah lengkung azigos dengan aliran retrograde melewati lengkung azigos ke vena cava inferior.
d.       Tipe IV
 Merupakan obtruksi vena cava superior pada lengkung azigos dengan peningkatan aliran kolateral yang multiple dan tidak terlihatnya vena azigos.
Gambaran radioopaque dari vena kolateral torak oleh CT scan sering merupakan suatu SVCS, tetapi gambaran radioopaque pada saluran subkutaneous torak anterior merupakan indikator yang paling baik terhadap adanya oklusi vena cava superior.
Magnetic resonance imaging (MRI) mampu mendiagnosa obsruksi vena torak sangat baik dengan sensitifitas 94% dan 100%, kelemahan dari MRI memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar.
4.      Contrast Venography
Venacavography merupakan prosedur yang penting ketika akan dilakukan intervensi bedah pada pasien. Pemeriksaan ini mampu mengetahui lokasi yang tepat dan derajad obstruksi dari vena cava, letak pembuluh darah besar yang mengalami sumbatan, derajad yang berhubungan dengan trombosis dan adanya kolateralisasi, yang merupakan informasi yang penting untuk perencanaan operasi, venography dapat dilakukan dengan menggunakan injeksi vena antekubital bilateral atau dengan injeksi kateter konvensional, tergantung sumbatan yang terjadi.
5.       Sputum Cytology, Fine-Needle Aspiration, and Lymph Node Biopsy
Metode yang sangat sederhana dalam mendapatkan diagnosis histologis dengan analisa sputum. FNAB juga merupakan pemeriksaan diagnostik yang mampu memberikan informasi yang penting pada kebanyakan kasus. Perdarahan atau hematum bisa terjadi pada saat melakukan tindakan ini.
6.      Transluminal Radiographic Biopsy
Metode lain adalah dengan menggunakan metode tranluminasi biopsy dengan panduan fluoroscopy. Metode ini dapat mengevaluasi keadaan sistem vena dengan baik tetapi jarang dikerjakan, metode ini sangat baik digunakan apabila menemukan kesulitan dalam melakukan diagnostik, metode ini juga mampu mengidentifikasi apabila terjadi tumor intraluminal.
7.      Mediastinoscopy
Metode ini masih dipertanyakan penggunaannya dalam klinis karena ada beberapa center mengatakan metode ini merupakan kontraindikasi dalam penggunaanya, karena ditakutkan tejadinya perdarahan, hematum ,distres pernafasan perioperatif dan infeksi.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kirschner tidak menemukan adanya komplikasi pada pasien yang melakukan mediastinoskopi, Callejas and colleagues mengatakan tindakan ini sangat berguna dan reliable dalam mendiagnosa tumor yang menyebabkan timbulnya SVCS.
Ketika akan melakukan pemeriksaan mediastinoskopi pada pasien dengan SVCS , ahli bedah harus mengetahui fisiologis dari SCVS dan memilih metode yang tepat untuk menurunkan kejadian perdarahan pada pasien, menempatkan pasien dalam posisi trendelenburg akan menurunkan hipertensi pada vena tubuh bagian atas.

G.    DIAGNOSA BANDING
Diagnosa banding dari SVCS adalah tamponade jantung dan right ventricular dysfunction. Dengan menggunakan echokardiogram dapat menegakkan perbedaan dari kelainan ini, keganasan atau tidak juga merupakan diagnosa banding yang harus dibedakan, keganasan yang umumnya terjadi seperti SVCS termasuk kanker paru , limfoma dan tumor solid dengan metastase ke mediastinum (termasuk kanker payudara). penyebab Non malignansi dari SVCS termasuk penyebab iatrogenik (kateter vena central), penyakit infeksi (TBC, infeksi fungi), vaskulitis, aneurisma aorta dan gondok.








H.     PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan SVCS tergantung pada berat-ringannya gejala, penyebab terjadinya obstruksi, dan tipe histologis tumor sebagai penyakit utamanya.
Ø  Penanganan konservatif seperti : memposisikan kepala lebih tinggi, tirah baring, dan oksigenasi dapat dilakukan untuk mengurangi cardiac output dan tekanan hidrostatik venosa.
Ø   Diuretik berguna untuk menurunkan tekanan VCS karena kemampuannya menurunkan aliran balik venosa ke jantung dengan cara menurunkan preload. Diuretik dan diet rendah garam bisa berguna untuk mengurangi edema, tetapi harus diwaspadai timbulnya efek samping thrombosis yang dipicu oleh dehidrasi. Glucocorticoids dapat mengurangi reaksi inflamasi; yang ditimbulkan oleh invasi tumor, edema di sekitar massa tumor, dan atau tindakan radiasi; dengan cara menekan migrasi dari lekosit PMN, dan menurunkan kembali permeabilitas kapiler yang meningkat. Dosis dewasa methylprednisolon , loading dose : 125 – 250 mg i,.v, maintenance dose : 0,5 – 1 mg/kgBB/dosis i.v setiap 6 jam selama 5 hari.
 Jika SVCS terjadi karena penggunaan kateter vena sentral, kateter harus segera dilepas disertai pemberian antikoagulan untuk mencegah terjadinya emboli. Jika SVCS secara dini dapat terdeteksi, dapat diterapi dengan fibrinolitik tanpa harus melepas kateter. Warfarin dosis rendah (1 mg/hari) dapat mengurangi insidensi thrombosis karena pemasangan kateter. Terapi konservatif merupakan manuver primer yang penting untuk dilakukan sampai diagnosis berhasil ditegakkan dan terapi definitif dapat diberikan.
Ø  Penatalaksanaan definitif SVCS mencakup pemberian thrombolisis, antikoagulan, melebarkan VCS secara mekanis untuk menormalkan kembali aliran darah, radioterapi untuk mengurangi distensi venosa, dan jika terdapat kegawatdaruratan untuk menghilangkan obstruksi VCS dengan segera dapat dipertimbangkan prosedur pembedahan.
1.Radioterapi
Penggunaan radioterapi pada paisen dengan SVCS tidak menunjukan hasil yang memuaskan. Pada pasien dengan SVCS dan SCLC walaupun telah diberikan radioterapi hasil yang diberikan akan lebih baik dikombinasi dengan kemoterapi, pada beberapa kasus tidak ada perbedaan antara kedua terapi tersebut namun kemoterapi memberikan keuntungan dalam mengatasi penyakit secara sistemik dan menurunkan jumlah radiasi yang diterima jantung dan paru. 43% dari 100% kasus penurunan gejala akan dicapai pada tujuh sampai 10 hari.
Dalam studi yang melibatkan pasien dengan SVCS dan SCLC pasien tidak mendapatkan keutungan dengan radioterapi, tetapi pada pasien dengan SVCS dan NSCLC pasien radioterapi memegang peranan penting, dosis yang dianjurkan adalah 300 – 400 Gy sebanyak 2-4 seri, namun waktu, dosis dan jumlah dari radioterapi untuk SVCS masih belum pasti, dan tidak ada bukti klinis yang dapat menentukan jumlah dosis yang diperlukan untuk menimbulkan respon klinis pada pasien dengan SVCS. Secara umum pada NSCLC total dosis yang digunakan adalah 60 GY, dimana dosis pada limfoma dan neoplasma yang radiosensitif dosis yang sering dipakai adalah 20 – 40 Gy. Dosis dari radioterapi dapat sangat bervariasi tidak hanya tergantung jenis histologi dari tumor, tetapi juga apakah dikombinasi dengan kemoterapi atau tidak dan apakah terapinya paliatif atau kuratif.
2.      Kemoterapi
Pada pasien dengan SVCS yang disebabkan oleh tumor yang bersifat kemosensitif seperti limfoma atau SCLC, kemoterapi dapat digunakan sebagai terapi primer atau dikombinasi dengan radioterapi, dalam kemoterapi histologis dari kanker sendiri harus sudah tegak, dalam dekade terakhir, perkembangan dengan terapi kombinasi telah digunakan untuk pasien SVCS dengan SCLC. Pada suatu penelitan 7 pasien diterapi dengan kemoterapi (lomustine, cyclophosphamide dan MTX ) perkembangannya Sangat cepat, studi yang berbeda juga mengatakan hal yang sama dimana pada penelitian dengan menggunakan 22 sampel diterapi secara kombinasi dengan kemoterapi perkembangan yang didapat sangat cepat dimana resolusi total pada 21 pasien tersebut didapat pada hari ke 14. Pada suatu penelitian di RS. M.D Anderson ditemukan pada 18 pasien diterapi dengan radioterapi dan 18 lagi diterapi dengan kemoterapi dan 7 pasien dengan terapi kombinasi antara kemoterapi dan radioterapi, semua modalitas terapi yang diberikan dapat memberikan perbaikan secara cepat pada pasien dengan gejala obstruksi vena cava superior. Namun penggunaan kemoterapi berhubungan dengan kematian prematur yang besar.
Kemoterapi juga bisa digunakan pada pasien dengan limfoma atau kanker yang kemosensitif. Pada penelitian 30 pasien SVCS dengan limfoma diterapi dengan menggunakan radioterapi sebanyak 8 pasien dan kemoterapi pada pasien yang lain serta kombinasi keduanya pada 12 pasien. Setelah 2 minggu didapatkan hasil yang sama sama efektif antara kemoterapi dan radioterapi dalam menurunkan gejala SVCS. Kemoterapi diindikasikan pada pasien dengan dengan tumor yang lebih besar dari 10 cm dan secara histologis diindikasikan untuk Limfoma, kemoterapi ini diikuti oleh radiasi pada daerah mediastinum.
Kemoterapi juga dipertimbangkan untuk radiasi pada pasien dengan tumor yang kemosensitif pada tahun 1983, Maddox melaporkan 59 pasien dengan SCLC yang menimbulakan SVCS, dengan terapi radiasi didapatkan 9 pasien (56%) dari 16 pasien dan 23 pasien (100%) dari 23 pasien dengan kemoterapi dan 5 pasien (83%) dari 6 pasien yang menerima terapi kombinasi.



3.      TINDAKAN PEMBEDAHAN
Tindakan pembedahan ada 2 yaitu bypass vena cava superior dan pemasangan stent, tindakan ini berguna pada pasien dengan terapi paliatif, dalam hal ini tindakan bedah ini diambil jika terapi radiasi dan kemoterapi gagal dikerjakan.
1.      Pemasangan Stent
Terdapat beberapa model dari stent yang dapat digunakan dalam penanganan SVCS, karena adanya pelebaran diameter dari Vena cava superior, stent yang digunakan juga harus berdiameter lebar ( dari 12 -14 mm).
Ø  Stent Gianturco merupakan jenis stent pertama yang diperkenalkan dan digunakan dalam penanganan SVCS, merupakan stent yang mampu menyesuaikan dengan besarnya lumen, dimana stent ini terbuat dari besi stainless dan dianyam secara zigzag dan berbentuk silinder. Diemater yang disarankan oleh para klinisi adalah 1,25 sampai 1,5 kali diameter pembuluh darah. Kateter digunakan mempunyai diameter 8 – 16 F. Pemasangan gianturco stent pada salah satu Vena pasien dengan SVCS
Stent Wallstent juga merupakan Auto-expandable stent, yang terbuat dari besi stainless dan berbentuk silinder, kateter yang digunakan 7 – 9 F.
Ø   Stent Wallstent tersedia dalam berbagai jenis ukuran mulai dari 10 – 24 mm, sampai saat ini ukuran 16 merupakan yang terbesar yang pernah digunakan. Lebih lentur sehingga mampu mengikuti bentuk dari pembuluh darah. Panjangnya dapat berkurang sampai 30% ketika mengalami peregangan komplit.
Ø  Palmaz stent, merupakan balon yang dapat dikembangkan yang tebuat dari stainless dan berbentuk silinder, studi experimental dari metalic stent tersebut pada binatang dapat menimbulkan endotelisasi komplit dalam kurang lebih 4 minggu setelah pemasangan.

a.      Teknik pemasangan
Sebelum stent tersebut dipasang pada vena cava yang mengalami obstruksi, venogam dalam 2 posisi harus dilakukan untuk menentukan luas, keganasan dan lokasi dari obstruksi. Selain itu jaringan vena kolateral harus benar – benar dievaluasi dan adanya thrombus dan invasi tumor harus diidentifakasi. Klasifikasi venografi dari obstruksi berdasarkan kriteria Stanford dan doty, dan harus juga dapat ditentukan untuk memperkirakan kemungkinan terjadinya komplikasi seperti odem serebral dan gaga nafas. Pengukuran tekanan dari vena cava juga dapat menentukan tingkat keganasan yang terjadi. Suatu studi klinis mengatakan bahwa pemasangan stent baru dapat dilakukan bila tekanan vena cava superior lebih besar dari 22mmHg. Dari 9 pasien dengan SVCS 3 pasien menunjukkan tekanan vena kurang dari 22mmHg dan tidak dilakukan pemasangan stent. Pada kasus tersebut sindrom yang terjadi bersifat stabil, tanpa intervensi terapi, sampai pasien mengalami kematian karena penyakitnya sendiri. Hal ini didasarkan atas temuan klinis yang ada.
Pendekatan yang digunakan dalam melakukan pemasangan stent adalah melalui vena femoralis. Pada kasus oklusi vena cava superior atau stenosis yang berat, pemasangan stent pada vena cava superior dapat melalui beberapa jalan seperti melalui vena jugularis externa kanan dan kiri , atau vena perifer tangan.
Dari studi yang dilakukan pada pemasangan stent memberikan hasil yang memuaskan dimana pasien sengan SVCS yang dilakukan pemasangan stent sekitar 68% - 100% dari keseluruhan kasus (Carrasco CH, dkk tahun 1992). Beberapa gejala juga dikatakan berkurang seperti sakit kepala, sianosis dan odema serebri setelah dilakukan pemasangan stent. Sianosis dan odema pada wajah dikatakan berkurang pada 1 – 2 hari dan odema pada bibir atas secara umum berkurang dalam 2 – 3 hari setelah pemasangan stent, dan menetap pada lebih dari 1 minggu.
2. Vascular     Graft-tipe        Bypass
            Dari hasil yang didapatkan pada pasien dengan mengunakan kemoterapi atau radioterapi maka tindakan pembedahan jarang dilakukan pada pasien dengan SVCS, dari duapertiga pasien dengan SVCS gejala yang muncul dapat berkurang dalam 1 - 2 minggu dengan tindakan nonbedah. Banyak klinisi yang percaya bahwa dengan melakukan vascular graft- tipe bypass tidak memberikan hasil yang baik pada SVCS sekunder karena keganasan, keuntungan dari tindakan ini adalah terjadinya penurunan gejala yang ada bersamaan dengan tejadinya penurunan obstruksi vena cava, kelemahan dari pembedahan adalah morbiditas dan mortalitas sehubungan dengan prosedur pembedahan yang dilakukan, seperti timbulnya perdarahan pasca pembedahan, karena terjadi pelebaran vena di bagian compartment atas.
Indikasi yang paling mungkin digunakan bedasarkan literatur adalah neoplasma yang mendapatkan terapi (kemoterapi atau radioterapi) dan trombus pada vena cava superior atas atau cabang-cabangnya, oklusi akut vena cava superior disertai gejala klinis yang berat. Indikasi yang lain untuk pembedahan adalah terjadinya kekambuhan dari SVCS setelah dilakukan kemoterapi dan radioterapi. Dapat juga dilakukan pada pasien dengan obstruksi vena cava yang ringan, selain itu juga dilakukan tindakan biopsi untuk mendapatkan struktur histologis dari proses yang sedang terjadi. Namun tindakan pebedahan dapat mengurangi gejala pada SVCS karena keganasan.

















I. PATHWAY
Edema pada bronkus dan thorax
Vena bronkus dan azygos
Vena lengan
Edema pada leher
Vena leher
Vena wajah
Obstruksi dan aliran darah lambat
Edema pada lengan
Nyeri dada
Ggn persepsi sensory
Disfagia
Kesulitan bernapas
Tdk efektifnya bersihan jalan napas
Edema konjungtiva
Ggn pola nutrisi
Intoleransi aktifitas
Ggn integritas kulit
Ansietas
Faktor eksternal
1.kanker thorax  2.tumor ganas 3.adenoma ca   4.limfoma     5.kanker payudara dan testis yang bermetasase
Trombosis vena
Faktor internal
Penggunaan kateter vena
Kompresi vena
 

































J.KOMPLIKASI EMERGENCY
·         Tumor massa mendesak trakeaà sesak napas dst.
·         Gagal hemodinamik ( gagal jantung kiri) bila kolateral belum terjadi.
·         Edema serebral dan edema laryng
·         Obstruksi saluran napas
·         Hemoptisis

K. PRIORITAS MASALAH
1.Tidak efektifnya jalan napas berhubungan dengan penekanan vena bronkial,edema leher
2.Nyeri dada berhubungan dengan udema pada bronkus dan thorax
3. Disfagia berhubungan dengan udema pada leher
4. Gangguan pola nutrisi berhubungan dengan disfagia
5. Gangguan persepsi sensory berhubungan dengan udema pada konjungtiva

L. MASALAH KEPERAWATAN
1.      Tidak efektifnya jalan napas berhubungan dengan penekanan vena bronkial,edema leher.
2.       Nyeri dada berhubungan dengan udema pada bronkus dan thorax pada leher.
3.       Disfagia berhubungan dengan udema pada leher.
4.      Gangguan pola nutrisi berhubungan dengan disfagia.
5.      Gangguan integritas kulit berhubungan dengan udema pada lengan,leher,dada,tdan     wajah(edema ekstermitas atas).
6.      Gangguan persepsi sensory berhubungan dengan udema pada konjungtiva.
7.      Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplay oksigen,edema pada lengan,leher, wajah.
8.      Ansietas berhubungan denagan ggn persepsi sensory,nyeri dada,dan dispnue.




M.PENGKAJIAN
1.      Pengkajian Primer
a.       Airway : biasanya tidak ditemukan adanya sumbataan jalan napas
b.      Breathing : dispnue(sesak napas), mengi.
c.       Circulation : adanya edema ekstremitas,denyut nadi perifer melemah
2.      Pengkajian sekunder
a.       Mata: pupil mengecil,kelopak mata jatuh dan tidak berkeringat di satu sisi wajah
b.      Ekstermitas: pembengkakan vena – vena lengan, venektasi didaerah dada, dan punggung
c.       Leher :pembengkakan vena- vena leher,udema pada daerah leher,sakit menelan
d.      Paru: pernapasan biasanya dangkal dan cepat,tidak simetri















RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

NO
DX KEPERAWATAN
TUJUAN
INTERVENSI
RASIONAL
1.
Tidak efektifnya jalan napas b/d penekanan vena bronkial dan vena bronkus dan edema leher.

1.menunjukkan hilangnya dispnue.
Mempertahankan jalan napas paten dgn bunyi napas bersih.
3.menunjukkan perilaku untuk memperbaiki/mempertahankan bersihan jalan napas.
1.     catat upaya dan pola napas.
2.     Observasi penurunan ekspansi dinding dada dan adanya peningkatan fremitus.
3.     catat karakteristik bunyi napas.
4.     catat karakteristik batuk.
5.     pertahankan posisi tubuh/kepala tepat dan gunakan alat jalan napas sesuai kebutuhan
6.     bantu dengan batuk /napas dalam, ubah posisi dan penghisapan sesuai indikasi.
1.  penggunaan otot interkostal /abdominal dan pelebaran nasal menunjukkan peningkatan upaya bernapas.
2. Ekspansi dada terbatas atw tak sama sehubungan dgn akumulasi cairan,edema,dan sekret dalam seksi lobus.
3. bunyi napas menunjukkan aliran udara melalui pohon trakeobronkial.mengi dpt mrupkn bukti kontriksi bronkus atau penyempitan jln nps s/dedema.
4.  Karakteristik batuk dapat berubah tergantung pd penyebab gagal napas.
5.  Memudahkan memelihara jln napas atas paten bila jalan napas dipengaruhi oleh ggn tingkt ksadaran dll.
6.  penggumplan sekresi mengganggu ventilasi atau edema paru dan bila pasien tidak diintubasi.

2.
Nyeri dada b/d udema pada bronkus dan thorax .

Nyeri dada dapat teratasi dgn kriteria hasil:
·         Klien tidak mengeluh nyeri
·         Ekspresi wajah rileks
·         Tidak gelisah
·         Postur tubuh baik
·         Nadi normal 60 kali/menit
·         Tekanan darah normal 120/90 mmHg
1.Pantaukarakteristik nyeri, laporan verbal, petunjuk non verbal dan respon hemodinamik (gelisah, berkeringat, napas cepat, tekanan darah, frekuensi jantung).
2. Anjurkan klien untuk melaporkan saat nyeri dirasakan.
3. Beri lingkungan yang tenang/ataur posisi yang nyaman.
4. Bantu klien untuk melakukan teknik relaksasi.
5. Berikan oksigen dengan kanule atau masker


1.Untuk membandingkan nyeri yang ada, riwayat verbal dan penyelidikan lebih dalam terhadap faktor pencetus harus ditindak agar nyeri hilang.
2.Penundaan pelaporan nyeri menghambat peredaran nyeri dan memerlukan peningkatan dosis.
3.Menurunkan rangsangan eksternal dimana ansietas dan regangan jantung serta keterbatasan koping.
4.Membantu dalam menurunkan persepsi/respon nyeri, memberikan kontrol situasi, meningkatkan kemampuan koping.
5.Meningkatkan jumalh oksigen yang ada untuk pemakaian miokardial, mengurangi ketidaknyamanan.
3.
Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi b/d disfagia

Asuhan nutrisi terpenuhi

1.Kaji ketidakmampuan menelan.
2. Letakan posisi lebih tinggi pada waktu selama, setelah makan.
3.Berikan makan secara adequate sesuai program diit.
4. Anjurkan latihan menelan dengan memberikan makanan peroral dengan makanan lunak.
5. Lanjutkan therapi Ranitidin 3x1ampul per IV
1.Mengetahui seberapa besar ketidakmampuan klien dalam menelan
2.Menggunakan gravitasi untuk memudahkan dalam proses menelan dan menurunkan resiko terjadinya aspirasi.
3.Intake nutrisi yang adekuat dapat mempercepat proses penyembuhan dan memuaskan pemenuhan kebutuhan saat ini untuk regenerasi jaringan.
4.makanan lunak atau cairan kental lebih mudah untuk mengendalikannya didalam mulut, menurunkan resiko terjadinya aspirasi.
5.menurunkan terjadinya peningkatan asam lambung

4.
Gangguan integritas kulit b/d udema pada lengan,dan wajah.

1.    Mempertahankan integritas kulit
2.    Mendemonstrasikan perilaku/teknik mencegah kerusakan kulit
1.kaji kulit,catat penonjolan tulang,adanya edema,area sirkulasinya terganggu/kurus.
2. Pijat area kemerahan atau yang memutih
3.Ubah posisi sering ditempat tidur atau kursi,bantu latihan rentang gerak. pasif/aktif.
4.Berikan perawatan kulit sering,meminimalkan dgn kelembaban/ekskresi
5.Berikan tekanan alternatif/kasur,dll.
1.     Kulit beresiko karena gangguan sirkulasi perifer,imobilitas fisik,dan gangguan status nutrisi.
2.     Meningkatkan aliran darah,meminimalkan hipoksia jaringan.
3.     Memperbaiki sirkulasi/menurunkan waktu satu area yang yang mengganggu aliran darah.
4.     Terlalu kering atau lembab merusak kulit dan mempercepat kerusakan.
5.     Menurunkan tekanan pada kulit.
5.
Ansietas b/d ggn persepsi sensory,nyeri dada,dan dispnue.

Setelah  2x24 jam di rawat, kecemasan klien berkurang d/k:
·     tidur 6-8 jam / hari
·     gelisah hilang
·     klien kooperatif
·     mengungkapkan perasaannya pada perawat tentang tindakan yang di programkan
·     menyatakn ansietas berkurang

1.    Kaji tanda-tanda ekspresi verbal dari kecemasan.
2.    Temani klien selama periode kecemasan tinggi, beri kekuatan, gunakan suara tenang.
3.    Orientasikan klien dengan prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan.
4.    Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan kecemasannya.
5.    Lakukan pendekatan dan komunikasi
6.    Beri kesempatan pada orang terdekat untuk mendampingi klien.
7.    Berikan penjelasan tentang penyakit, penyebab serta penananganan yang akan dilakukan.
8.    Kolaborasi dalam pemverian obat anticemas/hipnotik sesuai indikasi, contoh diazepam
1. Tingkat kecemasan dapat berkembang ke panic yang dapat merangsang respon simpayik dengan melepaskan katekolamin, ini mengakibatkan peningkatan kebutuhan jantung aka oksigen.
2. Pengertian yang empati merupakan pengobatan dan mungkin meningkatkan kemampuan koping klien.
3.  Orientasi dapat menurunkan kecemasan.
4.  Dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak di ekspresikan.
5.  Membina saling percaya.
6.  Respon terbaik adalah klien mengungkapkan perasaan yang dihadapinya.
7.  Untuk memberikan jaminan kepastian tentang langkah-langkah tindakan yang akn diberikan sehingga klien dan keluarga mendapatkan informasi yang jelas.
8.  Meninglatkan relaksasu dan menurynkan kecemasan





NO
DX KEPERAWATAN
      TUJUAN
   INTERVENSI
      RASIONAL
6
Intoleransi aktifitas b/d ketidakseimbangan suplay oksigen,edema pada bagian ekstremitas bagian atas, ggn persepsi sensory.

1.      Peningkatan toleransi aktivitas.
2.      Frekuensi jantung normal.
3.      Tekanan darah normal.
4.      Nyeri berkurang.
5.      Kulit hangat, merah muda.
6.      Frekuensi pernapasan normal.

1)      Catat frekuensi, irama, dan perubahan TD, selama dan sesudah beraktifitas
2)     Tingkatkan istirahat, batasi aktivitas dan berikan senggang yang tidak berat
3)      Anjurkan menghindari perilaku yang dapat meningkatkan tekanan abdomen seperti mengejan saat defekasi
4)     Pertahankan klien tirah baring sementara sakit akut
5)     Evaluasi tanda vital saat kemajuan aktivitas terjadi
6)     Pertahankan penambahan oksigen sesuai program

1)         Respon klien terhadap aktivitas dapay mengindikasikan penurunan oksigen miokardium
2)        Menurunkan kerja miokardium dan konsumsi oksigen
3)         Mengejan dapat mengakibatkan kontraksi otot dan vasokontriksi pembuluh darah tanf dapt meningkatkan preload, tahnan vaskuler sistemis dan bban jantung
4)        Mengurangi beban jantung
5)        Mengetahui fungsi jantung bila dikaitkan dengan aktivitas.
6)        Meningkatkan oksigenasi jaringan.








KUMPULAN GAMBAR





                                                                                              


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sindrom Vena cava superior adalah sekumpulan gejala akibat pelebaran pembuluh darah vena yang membawa darah dari bagian tubuh atas menuju ke jantung, Penghambatan aliran darah ini (oklusis) melewati vena ini dapat menyebabkan sindrom vena cava superior (SVCS).
Lebih dari 95% dari semua kasus sindrom vena cava superior (SVCV) melibatkan kanker pada thorax bagian atas, dan yang paling berhubungan dengan sindrom vena cava superior adalah kanker paru.SVCS mempunyai tanda dan gejala tertentu, tanda yang ditemui pada pasien dengan SVCS adalah pelebaran vena leher, plethora pada wajah, odema yang muncul pada lengan ,dan sianosis. Penanganan SVCS tegantung pada derajad dari SVCS, penyebab dari obstruksi, tipe hitologi dari tumor. Penatalaksanaan SVCS ada 2 yaitu penanganan medis dan penanganan pembedahan. Prognosis dari SVCS sangat tergantung dari penyakit yang mendasarinnya.
B.SARAN
Semoga makalah ini memberikan wawasan kepada kita tentang Sindrom vena kava superior (SVKS) sebagai salah satu kasus kegawat daruratan,  dan kepada ibu dosen pembimbing mata kuliah ini kiranya dapat memberikan masukan, kritik dan saran guna melengkapi pengetahuan tentang Sindrom vena kava superior (SVKS) terutama yang berkaitan dengan kasus kegawat daruratan  dan langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam menghadapi masalah kegawat daruratan ini.





                                           

DAFTAR PUSTAKA

Andre, (2005-Last Updated),”Superior Vena Cava Superior:” Avaliable At http://www.oascentral.emedicine.com (Accessed : 2007,April 5)
Beeson, Michael S. eMedicine - Superior Vena Cava Syndrome. May 12, 2001. http://www.emedicine.com/emerg/topic561.htm. (Accessed : 2007,April)
Cirino LMI, Coelho.Rocha,Treatment Vena Cava Superior Syndrome J. bras. pneumol. vol.31 no.6 São Paulo Nov./Dec. 2005
 Cheen (2007-Last Updated),”Cardiovaskular Medecine:” Avaliable At: www.w3.org (Accessed : 2007,April 5)Johnson.p dkk (2006-Last Updated),”
Superior vena cava syndrome:” Avaliable At: https://www.healthatoz.com (Accessed : 2007,April 5)
Alice C.Geissler,Mary Frances Moorhouse,Marilyn E. Doenges; RNCANA Asuhan Keperawatan ,Edisi 3,Penerbit EGC.